Minggu, 21 Oktober 2012

Belajar ‘Mencari Nama’ dari Pram...

“Nama adalah bangunan atas hasil karyanya. Orang tak perlu mencari-carinya” - Pramoedya Ananta Toer

Banyak orang memimpikan agar diri mereka terkenal. Asa mereka agar setiap orang yang berpapasan dengannya di sudut jalan mengenal dan menyapa dirinya. Maka, sebagaian dari mereka berlomba-lomba untuk mencari nama agar dikenal. Terlebih bagi politisi atau public figure macam kini, mencari nama untuk popularitas adalah menu wajib.

Berbicara mengenai ‘mencari nama’ dan ingin menjadi terkenal, ada baiknya jika kita belajar dari guratan emosi sosok Pramoedya Ananta Toer lewat bukunya, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Buku ini awalnya hanya berupa catatan harian Pram ketika menjalani masa hukuman penjara tanpa pengadilan di Pulau Buru.

Lama tak berjumpa dengan istri dan anaknya hampir 7 tahun, Pram mengisahkan romantika ketika ia mendapatkan sepucuk surat dari putrinya, Titiek. Surat yang Pram sebut sebagai ‘sertifikat dari seorang anak untuk ayah’ tersebut tertulis pada tanggal 9 Februari 1972, menggunakan mesin ketik sebelas jari sebanyak 4 lembar kuwarto, Pram-lah yang mengajari anak keempatnya tersebut menulis saat duduk di bangku kelas 3 SD.

Titiek bercerita dalam surat itu, kala ia mendaftarkan ke sekolah-sekolah baru, ia selalu mendapatkan pertanyaan awal, “Ini apa anak Pramoedya Ananta Toer?” Si anak sungguh merasa beruntung memiliki seorang ayah yang ternama. Bahkan ketika ia menginjak sekolah menengah farmasi, baru masuk sekolah 4 hari saja semua kawan-kawan dan guru-gurunya di sekolah sudah mengenalnya dan akhirnya ia ditunjuk menjadi wakil ketua kelas.

Ia pun lantas berkata, “Titiek sangat bangga mempunyai ayah seperti Ayahanda, Ayahanda adalah orang yang ternama. Cita-cita Titiek ingin mencari nama seperti Ayahanda,” ujarnya dalam surat.

Dalam surat balasan yang tak pernah tersampaikan pada anaknya (karena situasi Pulau Buru yang tak memungkinkan), Pram bercerita tentang nama. Pram merendah diri dengan mengatakan bahwa ia merasa tak memiliki kualitas yang baik seperti ketajaman pikiran, kekukuhan pendirian dan arena kejujuran yang setara dengan sosok ayahnya atau mertua Pram (Hadji Abdillah Thamrin) yang dianggap tenar pada masanya.

Pram menegaskan bahwa ia tak pernah mencari nama. Karena anaknya menganggap Pram punya nama lantaran kejadian di sekolah, maka nama itu tak lain adalah pemberian masyarakat. Nama tak perlu dicari, karena ia merupakan hadiah dari masyarakat atas apa yang kita lakukan.

“Nama bukan dicari, dia hanya imbalan. Kalau kau memberikan hasil kerjamu pada seseorang dan orang itu suka, engkau pun akan mendapat nama dari dia. Nama adalah produk sosial. Juga dibutuhkan ausdauer (daya tahan) untuk mempertahankan dan mengembangkannya. Nama adalah bangunan atas hasil karyanya. Orang tak perlu mencari-carinya,” tegas Pram.

Sekiranya jelas apa yang diungkapkan Pram terkait ‘mencari nama’ melalui catatan hariannya. Nama adalah konstruksi masyarakat atas tindakan yang kita lakukan. Sehingga apa yang kita lakukan, baik itu buruk maupun baik, akan melekat pada nama tersebut. Tentu Pram mendapat nama karena ia seorang penulis yang produktif meski beberapa karyanya ditentang oleh berbagai pihak.

Kita bisa belajar dari Pram, tak perlulah kita mencari nama dengan mengumbar sensasi. Cukup berkarya dan produktif sesuai dengan talenta masing-masing dengan maksimal, karena dari sanalah kita mendapat imbalan nama dari masyarakat atas ungkapan hasil karya kita.

http://intisari-online.com/read/belajar-mencari-nama-dari-pram

Tidak ada komentar:

Posting Komentar